tak sepenuhnya apa yang kita tulis itu menjadi
orang lain itu paham dan tak ada jaminan juga apa yang tulis orang lain
membuat kita paham. maka disilah dialektika itu perlu. berangkat dari
universalis sebuah hubungan, Sejarah cinta manusia
Aku bukanlah tipe
orang yang suka memaksakan kehendak orang lain. Aku hanya menjelaskan
sekali saja, itupun tak bermaksud agar ia mengikutiku, mengikuti kehendakku.
Aku hanya memaparkan berbagai pilihan, biarlah ia yang memilih, karena
bila kau yang memilihkannya, dan mengharuskan ia sama denganku, ini
berate aku telah sedang membatasi kebebasan orang lain. Padahal setiap
anak manusia punya hak dan kebebasan masing-masing. Hal ini berlaku
kepada kekasihmu. Jika kamu kesulitan menghubungi, setiap kali
menghubungi tanpa ada kesan yang mendalam atau setiap kali menghubungi
ia dalam kesibukannya, jangan terlalu buru-buru untuk berpikir yang
bodoh. Biarkan kekasihmu tidak menghubungimu, maka biarkanlah, biarkan
dia mencari kedamaian, biarkan dia yang memulai menghubungimu. Cinta itu
adalah timbale balik, bukan searah dan cinta itu bukan suatu paksaan.
Pernah suatu ketika cinta itu kami paksa tapi yang terjadi diantaranya
malah ada sifat keterlaluan. Dari sinipun kita dapat bisa belajar, bahwa
hubungan cinta itu bermacem-macem, tak sama satu dengan yang lainnya.
Toh jika ada yang sama itu adalah suatu kebetulan saja. Maka biarkanlah
mengalir apa adanya. Pasti, jika suatu saat cintanya tumbuh ia akan
menghubungimu. Kapan saja dan dimana kamu berada. Kamu jangan memaksa
dia untuk selalu menghubungimu. Jika kamu mengatur-atur kehidupannya
bukan kenangan yang menginspirasi yang akan kamu dapatkan, melainkan
mala petaka yang akan didapatkannya. Sebenarnya cinta adalah kesucian.
Bicara soal sucitak perlu banyak aturan, cukup jalani saja. Dan inilah
idealism cinta.
Cinta anak muda yang sejati beasal dari cinta orang
tua yang diajarkan turun temurun. Sejak pertama kali manusia lahir, ia
telah disibukan dengan berbagai macam keperluan untuk menyambut
kedatangan si mungil itu, hal ini menjadi bagian yang tak bisa
terlupakan bahwa kegembiraan mereka secara bawah sadar mempengaruhi
kegimbiraan si bayi tersebut. lambat laun karena perjalanan waktu, si
mungil yang dulunya kecil, yang dulunya masa kecil dengan penuh
kebahagiaan dengan cinta orang tuanya yang selalu mendampingi kemana ia
pergi, berubah menjadi kebimbangan karena si anak itu melihat anak yang
seusianya lahir tanpa orang tua dan menjadi gelandangan, tanpa sekolah
dan tanpa tempat tinggal. Anak itu merenung dalam kesendiriannya,
dimankah cinta itu hadir. Bisakah cinta hadir tanpa orang tua. Sampai
menginjak di Usia remaja, anak ini jatuh cinta kepada seorang perempuan
cantik, lugu dan masih kedesaan. Dijalaninya hubungan cinta kepada si
cantik ini, awal mula mereka menetapkan hari jadi penuh dengan
kebahagiaan. Kata salah satu pasang “aku benar-benar merasakan cinta”.
Dijalninya waktu, sampai kurang lebih tiga bulan mereka menjalin asmara,
hubungan mereka tanpa beban. Manginjak bulan ke empat, sepertinya ada
yang aneh dan benar-benar terjadi, dianta mereka sudah mulai ada rasa
kecemburuan, komunikasi sudah mulai renggang, dan diantanya ada yang
suka menuduh-nuduh. Kepercayaan mulai kurang serta setiap kali diucapkan
kata “bahwa aku saying kamu” tak mempan untuk menggantikan kepercayaan
itu. paginya baik-baik saja, sorenya mereka bertengkar. Dari hal yang
sepele menjadi hal yang lebih rumit dan kadang menjadi hal yang lebih
besar. beberapa filosofi telah mereka hadirkan bahwa kehidupan orang
becinta tak selamanya mulus. Kadang kita harus berlaku seperti kayu
kepada api, rela menjadi demu untuk terbang dengan kediaman, seperti
mendung kepada hujan, belum sempat ia berkata sudah menjadi air.
Perjalan cinta tak semudah dibayangkan, disini butuh perjuangan untuk
mempertahankannya. Karena tanpa perjuangan itu kamu akan merakan
kesakitan yang tak ada duanya, bila kamu tinggalkan sang kekasih. Dan
inilah Matrealisme hubungan cinta.
Jumat, 08 Maret 2013
idealis cinta dan matrealis cinta
Posted by riswan on 18.15
Categories:
0 komentar:
Posting Komentar