Berzakat Kepada Orang Komunis dan Fasik
Oleh; Riswantoro [1]
Judul asli : HAadyul Islam Fatawi Mu’ashirah
Judul terjemahan : Fatwa-Fatwa Kontemporer
Penulis : Yusuf Qordhowi
Penerjemah : As’ad Yasin
Halaman :383-389
Tebal : 958 halaman
Jilid : jilid 1
Judul terjemahan : Fatwa-Fatwa Kontemporer
Penulis : Yusuf Qordhowi
Penerjemah : As’ad Yasin
Halaman :383-389
Tebal : 958 halaman
Jilid : jilid 1
A. Pendahuluan
zakat adalah sumber kekuatan material yang dimiliki oleh agama islam yang mampu menggerakkan kemajuan, diberbagai sumber bidang jika itu dikelola dengan maksimal. Selain itu zakat adalah pencerminan sosial bahwa agama islam itu benar-banar memperhatikan kondisi manusia, dengan begitu, orang yang belum bisa memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokok, dari adanya zakat tersebut dapat membantu meringankan beban penderitaan yang dialaminya. Tidak hanya itu zakat sebagai symbol islam yang bernilaikan sosial, dengan mengeluarkan zakat bagi orang-orang yang mampu, merupakan bukti keseriusan dalam mengamalkan ajaran agama islam, dan pahala tentunya balasan bagi Allah untuk yang mau mengeluarkan sebagian kelebihanya untuk mereka yang membuthkan.
Islam adalah agama rohmatal lil’alamin, menjadi rohmat segenap alam, begitulah konsep saat ini yang sering digencar-gencarkan ormas-ormas islam, seiring terjadinya penuduhan yang dilakukan Negara Adidaya ( Amerika serikat ) sebagai golongan yang menebarkan kerukan dan teror-teror keamanan manusia didunia pada umumnya. Munculnya tuduhan itu memposisikan semakain sempitnya pergerakan islam itu di dunia,dan pada khususnya di negara yang sebagian penduduknya beragama non islam,
Ketersempitan gerak yang disangsikan Amerika atas negara-negara islam memberikan dampak terhambatnya perkembangan perekonomian, sehingga utnuk pemenuhan kebutuhan dalam negerinya harus melakukan penghematan dan kemandirian. Hal itu menjadi problem tersendiri yang sangat sulit bagi pemerintah, dan khususnya agama islam.
Smentara pemerintah berpikir mencari jalan alternative, kelompok agama islam terjadi perdebatan mengenai zakat, bolehkah zakat itu dibagikan untuk orang komunis dan fasik yang kenetulan fakir dengan alasan berbuat baik kepada sesama manusia dengan tidak melihat latar belakang agama atau pandangannya terhadap agama? Atau, pakah memberikan bagian zakat kepada mereka akan menjadikan mereka akan menjadikan mereka makin berani melakukan penyimpangan dan kekafiran[2]?
itulah tema yang dibahas dalam fatwa-fatwa kontemporer Yusuf Qordowi dan dialami oleh masyarakat saat ini, yang pada satu sisi masyarakat membuthkan pertolongan sosial, dan pada sisi yang bersamaan juga ada sekat-sekat agama yang membatasi “interaksi” dalam mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Kita sepakat bahwa agama bukanlah bermaksud menghalangi manusia hidup dalam penderitaan, agama-agama didunia ini baik agama yang datangnya dari langait maupun agama dari bumi semuanya mempunyai satu pandangan bahwa mereka ingin mengentaskan penderitaan.
B. Pendapat-pendapat Ulama’
Terdapat perbedaan mengenai pendapat-pendapat para ulama atas boleh tidaknya zakat itu diberikan kepada orang-orang yang tidak beragam islam apalagi komunis yang jelas-jelas dan ternag-terang tidak mengakui adanya allah SWT. Para komunis yang sering disebut orang yang tidak mempunyai agama dan tidak mengakaui adanya Allah (Ateis), sama saja mereka tidak briman akan adanya Tuhan, berbeda dengan Ahli kitab yang kafir, walau mereka tidak mengakui kebenaran Alqur’an (Islam) tetapi mereka berkeyakinan kepada akan adanyaTuhan
1. Ulama yang melarang
Seperti yang termaktub dalam Alqur’an“sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zkat, yang dilunakan hatinya (nualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk jalan allah dan untuk ornag-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”[3].
Pada ayat tersebut memberikan gambaran bahwa zakat itu diperuntukan bagi orang tidak mampu dalam artian ekonomi yang melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah,
Pendapat kaum muslimin telah sepakat, bahwa orang kafir yang memerangi orang islam, sama sekali tidak boleh diberi bagian dari zakat[4], sebab orang kafir adalah orang-orang yang memusuhi nabi dan terus-menerus menghalang-halangi dakwah nabi, dan kepada orang-orang kafirlah nabi melakukan peperang. Sandaran dalam qur’an 60;9 “sesungguhnya Allah hanyalah melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu, karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu(orang ain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka senagai kawan, maka mereka itulah arang-arnag yang zalim[5]”
Hal itu juga ditegaskan oleh jumhur ulama’, adapun zakat harta, baik yang seper sepuluh, seper duapuluh, maupun seper empat tidak dibenarkan menyerahkan sesuatu apapun juga dari zakat pada orang yang bukan muslim, sehingga Ibnu MUndzir menyatakan,”bahwa ulama’ telah sepakat untuk tidak menyerahkan zakat harta kepada[6] orang zimmi[7]”
Adapun jumhur ulama memperkenakan member zakat kepada orang fasik selama ia tetap berada dalam keislaman , dan memperbaiki tinggkah lakunya dan menghormati nilai kemanusiannya; dank arena zakat itu diambil pula adri orang fasik[8], maka untuk dkembalaikan kepadanya. Sesuai dalam hadis yang berbunyai “Zakat itu diambil dari orang kaya diantara mereka dan diberikan pada orang fakirnya”. Dan menurut Yusuf Qordhowi “Bahwa orang fasik yang dengan kefasikannya tidak menyakiti kaum muslimin dan tidak pula melampaui batas, maka tidak mengapa , diberikan kepadanya zakat, walaupun orang-orang saleh yang istiqomah lebih utama untuk diberi[9].
2. Ulama yang mebolehkan
Sebagian besar ulama yang setuju dengan boleh zakat itu diberikan kepada orang selain agama islam adalah kebanyakan mereka adalah ulama yang lahir diera modernisasi[10], atau istilah lain dengan ulama kontemporer[11]. Seperti yang dikemukan mandzab hanafi yang boleh memberikan zakat fitrah atau yang sejenis dengan itu ayat qur’an tidak membedakan antara satu fakir dengan fakir lainya atau seorang miskin dengan miskin lainnya, seperti dalam surat Mumtahanah, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agamadan 9tidak) pula mengusir kamu dari negrimu[12]”
Sebagaimana juga tanggapan atas pendapat Sayyid Rasyid Ridho, dan sebagimana diketahui secara gambling dalam agama bahwa orang yang murtad dari islam adalah lebih buruk daripada kafir asli, karena jangan diberi apapun dari zakat maupun dari sedekah sunnat. Adapun kafir asli yang tidak memerangi, maka diperboehkan diberi dari sedekah sunnat, tetapi tidak dari zakat wajib.
Dari cendikiawan muslim yang ada di Indonesia seperti Abu Yasid, oleh karena itu dalam pendistribusian zakat perlu untuk dipertegas seperti yang hadis yang Nabi, “Beritahukanpada orang-orang bahwa Allah mewajibkan zakat kepada meraka yang diambilkan dari kelompok yang kaya, kemudian diberikan pada siapa yang amat butuh dari mereka”. hadis ini mempunyai kandungan tujuan sipa orang yang berhak mendapatkan zakat. Pertama adalah, dengan melihat keuniversilan, bahwa orang-orang mu’min berhak mendapatkan zakat bagi yang tidak mampu. Terlepas dari pendapat yang tidak membolehkan adalah apabila disuatu darerah terjadi kelaparan yang meraja lela dan hidup dalam buaian penderitaan, kalau begitu sangat salah jargon agama sebagi agama rohmatal lil’alamin kalau tidak tergerakkan untuk membantu dan menangani permasalahan yang melanda itu. Maka dari itu dipertegaskan oleh pendapat Ibnu Munir, zakat boleh diberikan pada siapa saja yang berhak menerimanya, dimanapun mereka berada. Tidak dibatasi pada wilayah tertentu, tanpa batas maksimal atau manimal.[13]
Di ungkapkan juga ahmad baso dkkk dalam buku islam Pribumi dengan semangat keadilan yang membagnunya berpendapat, “zakat adalah berhubungan dengan prinsi keadilan. Keadilan bersifat primer, masalah mendasar adalah keadilan ekonomi, bagaimana dengan orang yang tidak mendapatkan rizki dapat ikut merasakan. Karena menjadi fakir dan miskinbukan merupakan pilihan pribadinya, menjadi oarng terlantar dan sia-sia, tinggal dikolong jembatan, atau menjadi pengungsi, sama sekali tidak pernah diinginkan orang. Oleh dari itu dalam rangka menentaskan kemiskinan ini, harus ada usaha yang sungguh-sungguh merupakan tanggung jawab sosial, dan merupakan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan yang dimulai dari keadilan ekonomi. Dan zakat merupakan tanggung jawab seseorang yang memiliki kelebihan untuk dibagikan bagi kepentingan orang lain, terutama mereka yang tidak punya[14].
C. Relasi dengan problem Masyarakat
Semakin berkembangnya ilmu teknologi memberikan dampak baik disalah satu pihak dan dampak yang buruk pada satu sisi. Berkembangnya teknologi itu berpengaruh pada kehidupan masyarakat beberapa orang menjadi sangat untung sekali, bahkan berlebihan, dan dikehidupan lain bahkan lebih banyak orang yangmenderita kekurangan kebutuhan pokok.
Orang-orang yang merasakan ketidak beruntungan itu tidak hanya satu agama, melainkan komplek dari semua agama juga terkena dampak itu, yang menjadi permasalahn adalah bisakan agama islam yang mempunyai konsep rohmatal lil’alamin mampu menjembatani terwujudnya keadilan ekonomi dalam masyarakat. Sementara agama islam dalam masalah sosial terhadap aliran yang tidak sepandan cenerung bersifat inklusif[15], menutup diri dari peradaban luar, dan tidak atau kurang mencerminkan nilai sosial antar beda agama.
Disinilah perlu adanya pemurnian kembali ajaran islam, atau penekanan kembalai tentang konsep islam sebagai agama rohmatal lil’alamin, tidak hanya menjadi rohmat untuk orang-orang muslim, akan tetapi oarang yang bukan muslim juga dapat merasakan dampak kesejahteranya, begitupun dengan alam semesta.
Dari pendapat-pendapat ulama yang telah ditampilkan diatas, ternyata ajaran itu sangata beragam dan multi penafsiran, banyak menimbulkan perbedaan. Semisalnya saja dari boleh tidaknya zakat itu diberikan kepada orang-orang komunis dan fasik, ternyata. Jika diperhatikan mengenai pendapat ulama itu bisa dikelompokan menjadi dua yaitu kelompok yang membolehkan dan kelompok ulama yang tidak membolehkan, namun sebagaian besar para lama itu cenderung membolehkan tetapi dengan syarat. Tidak hanya pendapat para ulama, adalil yang digunakan juga berfariatif, satu sisi ada dalil yang melarang zakat diberikan kepada kaum komunis, tetapi disisi yang lain pula ada ayat yang membolehkan zakat itu dibagikan untuk orang non muslim.
Pendapat ulama dan dalil-dalil yang berbeda itu sekiranya dapat dijadikan acuhan untuk memutuskan permasalahan yang semakin hari semakin komplek dan beragam. Disini berlaku teori bahwa semakin permasalahan itu berkembang, dan dipahami orang dari berbagai keadaan maka agama itu semakain pluraritas[16]. Apakah semakin pluralnya pemahaman agama semakin nilai religiusnya hilang? Tidak, sebab jika setiap masing-masing agama mengedepankan toleransi, maka kenyamanan dalam menjalankan ibadah akan terasa aman dan tenang. Dan disitulah keharmonisan lahir.
Zakat sebagai mana artinya sosial dapat meringankan penderitaan saudara-saudara yang kekurangan ekonominya, seseorang yang mengeluarkan zakat berate seseorang tersebut sudah mengerjakan dua amal yang diperintahka Allah, yaitu sebagai kewajiban orang kaya untuk menyedahkan hartanya pada jalan yang lurus, kedua sesorang tersebut telah melakukan kesalehan sosial. Al qur’an mamberikan gambaran dua dalil yang seolah bertentangan harusnya menjadi bukti bahwa perbedan itu semakin menguatkan kalau Qur’an bukanlah buatan manusia. Menjadi berbeda itu meruakan anjuran bagi umatnya untuk mengedepankan pikirannya, dan ini sesuai dengan tujuan Allah menganugrahi manusia berbeda dengan mahkluk lainnya. Jika hewan hanya dan tumbuhan mempunyai nafsu, sedangkan malaikat diciptakan hanya dikaruniai akal, maka disitulah Allah menciptakan perbedaan.
Sudah menjadi sunnah tullah, bahwa misi penciptaan akal manusia adalah untuk berfikir kejalan yang benar, dan untuk melestarikan alam ini, bukan untuk menindas manusia, menindas hewan dan merusak alam. Manusia sebagai pencitraan dari dua kelebihan yang dimiliki dari hewan dan malaikat yaitu nafsu dan akal, telah memproleh peridak sebagai mahkluk yang sempurna.
Kesempurnaan yang dimiliki tersebutlah yang harus digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang belum mendapatkan keberuntungan, kembalai kepada masalah perbedaan dalil dalam al Qur’an adalah adanya perurutan tentang sistematis dalam pendistribusian zakat, disilah muncul prioritasprioritas orang mendapatkan zakat. dalam surat at taubah ayat 60, delapan golongan yang wajib mendapatkan zakat. dan dijelaskan bahwa mereka semua harus muslim, dan apabila yang menyandang delapan golongan bukanlah orang muslim maka, zakat itu dibagikanya tidak apa-apa, dengan niat bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk membantu sesama manusia dan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Adapun kriteria orang non Islam yang haram hukumnya untuk menerima zakat adalah sebagai berikut;
1. Orang yang secara terang-terangan kuffur kepada Allah baik baik dengan tidak mengerjakan perintahnya, ingkar akan adanya kholiq maupun dengan isryak dalam ibadah kepada-Nya.
2. Orang yang secara terang-terangan mengingkari wahyu, mengingkari diutusnya rosul atau dengan mencela kepada Nabi saw atau mencela Al Qur’an, atau mengingkari kehidupan dan pembalasan di akhirat.
3. Orang yang mengaku beraga islamdalam srti siasat politik, akan tetapi ia menghalalkan erbuatan yang dilarang agama[17].
D. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan, sekiranya sudah menjadi gambaran mengenai boleh tidaknya zakat itu diberikan kepada orang non muslim (komunis dan fasik). Zakat adalah sebagai semangat sosial menjadi cukup setrategis dan mempunyai peranan yang besar mana kala dapat mewujudkan apa yang selama ini dicita-cita Al Qur’an. Al Qur’an sebagai pedoman dalam mendampingi proses interaksi yang terjadi pada kondisi masyarakat sekarang perlu untuk mendampatkan tempat yang stategis, maksudnya adalah Al Qur’an harus bisa memberikan gambaran-gambaran mengenai persoalan yang terjadi, dan itu tidak lepas dari bagaimana manusia itu memahami dan mengamalkan ajaran AL Qur’an.
Cukup jelas bahwa zakat itu boleh diberikan kepada orang-orang non Islam, namun dengan catatan atau dengan pertimbangan-pertimbangan. Sebab tujuannya dari pertimbangan-pertimbangan tersebut dimaksudkan untuk menekan dan mengontrol agar tidak terjadi percampur adukan agama. Beberapa criteria orang non Islam yang boleh mendampatkan zakat adalah;
1. Jika disuatu tempat tidak ada orang muslim yang berhak mendapatkan zakat (semua orang muslim kaya semua) maka zakat itu diberikan kepada non Islam itu tidaklah bermasalah,
2. Apabila disuatu tempat terdapat orang muslim dan orang non muslim yang menyandang predikat sebagi penerima zakat, maka pertama kali yang harus diberi adalah orang muslim, apabila orang muslim sudah mendapatkan semua dengan rata maka zakat itu boleh diberikan kepada orang non muslim.
3. Zakat bisa juga disalurkan diluar tempat dimana zakat itu dipungut, dengan catatan bahwa orang-orang ditempat pemungutan itu kaya semua atau kalau kaya semua orang-orang yang berhak menerima zakat sudah terpenuhi hak-haknya.
4. Tanapa melihat criteria diatas jika bantuan itu didapatkan selain dari zakat mal, seperti sedekah langsung diberikan kepada orang non muslim iu boleh-boleh saja.
Ilustrasinya adalah bahwa pemebrian zakat itu dilain sebagai kewajiban atas orang-orang yang mampu, juga sebagai kesalehan sosial. Apa salahnya membantu manusia demi kebaikan hidup. Semakin orang itu terbantu hidupnya tidak bisa menutup kemungkinan bahwa orang itu bisa tertarik dengan agama islam.
E. Daftar Pustaka
Alqur’an dan terjemahannya, diponegoro press, Bandung, 2007
Abu Yasid, Fiqh Realitas; Respon Ma’had Aly terhadap wacana hukum islam kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Ahmad Baso, dkk, Islam Pribumi: Mendialogkan agama dan membaca realitas, Erlangga, Jakarta. 2003
Yusuf Qordhowi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
Yusuf Qordhowi, Hukum Zakat; Studi Komparatif mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan qur’an dan hadis, Litera Antar Nusa, Bogor, 1993
[1] Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jurusan PMI fakultas Dakwah semester empat 10230029
[2] Yusuf Qordhowi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 1996 halaman 383
[3] Alqur’an dan terjemahannya, diponegoro press, Bandung,2007, 9;60 halaman156
[4] Yusuf Qordhowi, Hukum Zakat; Studi Komparatif mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan qur’an dan hadis, Litera Antar Nusa, Bogor, 1993, halaman 680.
[5] Alqur’an dan terjemahannya, diponegoro press, Bandung, 2007, 60;9 halaman 434.
[6] Ibid, Yusuf Qordhowi, halaman 684
[7] Zimmi adalah golongan ahli kitab dan orang-orang yang sama hukumnya dengan mereka, dari orang yang hidup antar dua sisi kaum muslimin, dimana percaya pada golongan syariatnya akan tetapitunduk pada pemerintah islam, dan menerima diberlakuannya hukum islam. Yusuf Qordhowi, Hukum Zakat; Studi Komparatif mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan qur’an dan hadis, Litera Antar Nusa, Bogor, 1993, halaman 681.
[8] Orang fasik adalah orang tidak beriman kepada Allah secara terang-terang, dan ia hidup bersam dengan atau diatara oarang-orang muslim.
[9] Yusuf Qordhowi, Hukum Zakat; Studi Komparatif mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan qur’an dan hadis, Litera Antar Nusa, Bogor, 1993, halaman 689.
[10] Era modern adalah masa dimana orang-orang sangat tergantung sekali dengan barang-barang elektronik, atau beralihnya alat-alat manusia dari yang tradisional kea lat yang lebih canggih, efisien, dan meringankan manusia.
[11] Ulama Kontemporer adalah ulama yang dalam menafsirkan sumber-sumber agama (Al Kitab), di sesuaikan dengan kondisi masyarakat yang terjadi pada saat ini atau istilah yang dipakai Fazlur Rahman dengan dua momen, peristiwa yang sekarang terjadi atau yang dipahami dibawa ke awal mula peradaban islam lahir, kemudian ditafsirkan dengan alat bantuan bergai ilmu yang ada dan dipahami, cenderung menggunakan tafsir maidu’I (perpoko-pokok masalah).
[12] Alqur’an dan terjemahannya, diponegoro press, Bandung, 2007, 60;8 halaman 434
[13] Abu Yasid, Fiqh Realitas; Respon Ma’had Aly terhadap wacana hukum islam kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, halaman 114
[14] Ahmad Baso, dkk, Islam Pribumi: Mendialogkan agama dan membaca realitas, Erlangga, Jakarta. 2003, halaman101.
[15] Sifat inklusif adalah sifat yang hanya berinteraksi dalam satu jenis paham atau kesepakatan, dengan kata lain menutup diri dari peradaban dunia luar.
[16] Pluraritas adalah pandanagan bahwa ideology atau paham yang dianut seseorang dengan orang lain sama benarnya, dan keduanya tidak membesarkan-besarkan perbedaan tetapi hidup sebagai manusia sosial yang mengedepankan toleransi dan saling membantu (gotong royong) jika terdapat teman atau tetangga yang sedang kesulitan.
[17] Yusuf Qordhowi, Hukum Zakat; Studi Komparatif mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan qur’an dan hadis, Litera Antar Nusa, Bogor, 1993, halaman 691
0 komentar:
Posting Komentar