Daftar Blog Saya

Rabu, 07 Maret 2012

metode pemikiran imam syafi'i fiqh sosial

Posted by riswan on 19.37


Revitalisasi Metode Istiqra’ Imam Syafi’i
oleh; Riswantoro[1]
Judul                            : Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfud
Penulis                         : Jamal Ma’ruf Asmani
Halaman                     :331-346
Tebal                           : xxxiii+373

A.     Pendahuluan
Seiring bertambahnya umur manusia bertambah pula pengalaman dan kejadian-kejadian yang menimpanya baik itu peristiwa yang melibatkannya maupun peristiwa yang tidak melibatkannya. Dapat diidentivikasi bahwa manusia yang merakan kejadian maupun yang hanya melihat atau sekedar mengetahui pasti akan menimbulkan pemahaman baru sekaligus pengetahuan baru tentang kehidupan. Itu sebabnya tingkahlaku manusia juga ditentukan dari seberapa paham ia tentang pengetahuan yang ia pahami.
Jika bertambahnya umur menimbulkan berbanding dengan pengalaman manusia maka dengan bertambahnya manusia akan berbanding dengan bertambahnya permasalahan yang terjdi dan kian komplek atau beragam. Kejadian seperti itu tak bisa dihelakan lagi sebab manusia yang terlahir di dunia ini tidak ada yang sama diantaranya baik itu dari sifatnya, cara berfikir, cara berjalan, dan sampai cara manusia itu tidur (dari mulai bagun hiangga manusia itu tidur tidak ada yang memiliki kesamaan), andaikan ada beberapa yang menyerupai itu hanya mendekati kesamaan, namun tidak sampai pada taraf yang sama persisi.
Begitupun yang terjadi ketika berhadapan dengan dunia kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi permasalahan itu pun semakin rumit, terlebih lagi berkaitan dengan fiqh sosial, atau permasalahan ini menjadi tugas yang besar seorang ahli fiqh untuk melahirkan fatwa-fatwa yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan dasimping itu harus berlandaskan dalil-dalail yang tidak bertentangan dengan agama sehingga dapat diterima oleh kalangan masyarakat untuk diamalkan. Masyarakat yang berpegang teguh kepada Al qur’an dan Hadis Nabi melalui para ulama’ atau menfatwakan sendiri berdasar yang mereka pahami berujuan untuk kebahagian dunia maupun kebahagiaan akhirat. Cita-cita seperti itulah yang sejak dulu sampai sekarang yang di impikan semua orang.
            Terdengar beberapa tahun terakhir ini Istilah fiqh sosial mulai ramai diperbincangan terutama dikalangan Organisasi NU maupun dikalangan mazhab kontemporer. Berbagai keritikan datang untuk mengkristisi penafsiran Al qur’an dan khususnya ilmu fiqh itu sendiri. Seperti kritikannya Kiai Sahal Mahfudh;
‘’Kajian  masalah hukum (bahtsul masa’il) di Nu, menurut hemat saya, masih belum memuaskan untuk keperluan ilmiah maupun sebagai upaya praktis menghadipi tantangan zaman. Salah satu penyebabnya adalah keterikatan hanya pada satu mazhab (Safi’i). padahal AD/ART Nu itu sendiri menegaskan penghargaan yang sama terhadap empat mazhab yang ada. Ketidakpuasaan juga muncul dari cara berfikir  yang tekstual, yaitu yang menolak realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning  tanpa memberikan jalan keluar yang sesuai dengan tuntutan kitab itu sendiri[2].
Dari kritikan yang disampaikan Kai Sahal Mahfud itu memberikan gambaran bahwa selama ini tafsir dan terutama mengenai fiqh itu menggunakan atau masih merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab Kuning yang dikarang pada beberapa abad yang lalu pada masa empat mazhab) dan itu sangat berbeda sekali dengan yang terjadu pada saat ini, kejadian itu terlihat bahwa kejadian yang dialami oleh pengarang kitab klasik tidak sama dengan yang dialami manusia modern saat ini. Dan yang terjadi selama ini adalah peradaban teks, jadi setiap kali ada manusia dihadapkan prmasalahan maka, permasalahan itu dilihat dalam kitab klasik ada atau tidak, jika ada maka langsung diambil keputusan akan tetapi jika tidak ada ada maka cenderung untuk ditunda.
Gejala-gejala semacam itu tidaklah bermasalah untuk permasalahan yang daya angkutnya lama, tetapi untuk daya angkutnya untuk segera mendapatkan keputusan dan keputusannya itu ditunda maka akan terjadi kekosongan pengetahuan. Belum lagi ketika kitab yang klasik masih dipakai untuk menyelesaikan suatu permasalahan tanpa melihat kronologis lahirnya kitab itu, output yang dihasilkan pun tidak relevan atau bertolak belakang dengan kejadian yang dialami saat ini.
Disinilah dibuthkan karakteristik yang substansial, inklusif, relevan, berkembang, dan obyaektif. Dengan begitu diharapkan kedepan fiqh itu mempunyai peranan dalam pertumbuhan ilmu pengetahuaan dan setiap tindakan manusia dapat dijiwai oleh keberadaan fiqh itu sendiri. Setiap tindakan yang dijiwai oleh aturan agama berati manusia tidak melenceng dari yang di perintahkan oleh Allah SWT, dan jika menusia itu menjalankan apa yang telah diperintah oleh Allah maka bisa dikatakan manusia itu mendekati kebenaran, dan kebenaran itu dekat dengan surga.
B.      Pengertian Reviltalisasi
Sebelum jauh mengetahui makna revitalisasi metode istiqra’ imam Syafi’I adalah terlebih dahulu  mengetahui apa itu revitalisasi dan bagaimana cara kerjanya? Sebagaimana kita tahu bahwa revitalisasi bukanlah kata asli bahasa Indonesia melainkan kata serapan dari bahasa Inggris yang sudah di Indonesiakannya. Namun perlu adanya pencarian makna dasar dari suatu kata agar dalam memahami dan mengejawantahkannya tidak salah.
Revitalisasi itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian yang menyusunnya yaitu re adalah mengulang, berulang-ulang, vital adalah hidup, sangat penting, hayati, amat diperlukan, dan membahayakan, sedangkan sasi adalah proses, berjalannya keadaan. Dari kata dasar yang telah diuraikan itu dapat disimpulkan mengenai revitalisasi cara pandang menggali keilmuan adalah suatu proses yang dilakukan oleh ahli fiqh, dengan menghidupkan kembali pandanagn yang terdahulu ( makna substansial ) untuk mendapatkan ilmu yang baru.
            Mengacu dari revitalisasi sebagai mencari metode yang dilakukan oleh orang-orang terdahu guna menciptakan ajaran agama jika itu dalam lingkup agama agar tidak melenceng dari ajarannya. Sebagaimana telah dijelaskan di awal pendahuluan bahwa kencenderungan saat ini dalam menafsirkan atau memutuskan perkara masih tergantung pada teks. Terlihat sangat gamblang jika penggunaan metode teks itu akan tidak sesuai dengan keadaan yang dialami masyarakat saat ini. Hal yang menjadikan tidak sesuai adalah kultur yang ada diwilayah itu (dulu) tidak sama dengan kultur yang ada di daerah sini (sekarang).
            Kondisi yang demikianlah yang mengharuskan seorang mufafsir atau pemutus fatwa harus memahami kultur yang terdapat didaerah setempat. Begitupun dengan Ilmu yang harus dipelajari tidak hanya ilmu yang menyangkut ilmu-ilmu tentang keagamaan, tetapi masalah fiqh dan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, teologi, dan antropologi. Dari penggabungan ilmu-ilmu itu maka akan melahirkan nuansa yang kaya dan banyak karya-karya yang akan bermunculan, dan itu akan seperti yang diciata-citakan Al Qur’an sebagai kitab suci yang likulli zaman wa makan ( berlaku untuk semua masa dan dimana tempat).
            Penggalian yang cenderung mengambil maknannya akan melahirkan berbagai pendapat yang berbeda-beda, dan itu perlu disikapi dengan dingin tidak perlu untuk diperbesar-besarkan. Perbedaan adalah rohmatal lil’alamin, sebagai rohmat alam semesta ini untuk menjaga kedamaian bermasyarakat. Sejak awal manusia tidak sama dengan manusia lainnya itulah menjadi dasar bahwa keberagaman itu akan menimbulkan suatu kerukunan dan keharmonisan.
            Penekanan dalam menggali makna secara substansial juga datang dari ulama’ salaf, Ibnu qayyim al jauziyyah yang menganjurkan pendekatan konteksial dalam memahami kitab-kitab yang ditulis ulama terdahulu , sebagaimana ia berkata;
‘’janganlah Anda terpaku pada teks-teks(nushush) yang dikutip dalam kitab-kitab sepanjang hidup anda. Jika orang luar daerah Anda datang untuk menanyakan suatu persoalan (meminta fatwa Hukaum), maka tanyailah dulu tradisinya, sesudah itu barulah Anda putuskan, berdasarkan analisis Anda terhadap tradisinya itu dan bukan berdasarkan tradisi daerah Anda dan yang terdapat dalam kitab-kitab anda. Para ulama mengatakan bahwa ini adalah kebenaran yang jelas. Sikap statis dengan melakukan analisisi sosiologi dan tetap memberikan keputusan berdasarkan teks-teks yang ada dalam buku-buku adalah kesesatan dan tidak memahami maksud para ulama Islam dan generasi muslim awal[3].”
Karakteristik revitalisasi akan melahirkan empat dalam kaitanya memandang kitab-kitab yang beredar dan digunakan selama ini, ini sebagai pengejawantahan kondisi masyarakat sekarang ini yang tentunya berbeda dengan msyarakat pada waktu itu, kempat itu adalah;
1.      Substansial dalam mengkaji kitab-kitab yang ada, maksudnya adalah tidak serta merta ketika menemukan permasalahan itu langsung dapat diputuskan dengan melihat teks yang ada. Akan tetapi terlebih dahulu untuk melndiskripsikan bentuk permasalahn itu, kemudian dilihat dari teks itu untuk digali awal mula lahirnya teks itu, setelah tahu makna subtansial dari kronologi lahirnya teks maka, permasalahan yang akan diputuskan perkaranya sudah bisa untuk ditarik kesimpulannya.
2.      Relevan dengan kejadian saat ini, fatwa yang dikeluarkan itu tidak ertentangan dengan kondisi masyarakat, dan setiap perbuatan manusia terjiwai oleh ajaran agama. Hal itu tidak mengada-ada perbuatan yang buruk untuk dicarikan dalilnya agar menjadi perbuatan enar akan tetapi itu adalah bentuk kondisi masyarakat setempat.
3.      Berkembang dalam kedepannya mengenai keilmuan, tidak staknan ( berenti tanpa melahirkan karya-karya), jika revitaisasi itu jadikan metode maka kei,muan agama ini tidak mengalami kefinisan, akan tetapi akan terus menerus mengalami kemajuan. Hal itu serupa dengan sabda Allah SWT yang berbunyi jika tinta lautan untuk menuliskan ilmu Allah maka lautan itu akan kering sebelum ilmu Allah itu habis.
4.      Obyektif dengan permasalahan-permasalahannya, semua permasalahnya dapat dicari jalan keluarnya, dan berlaku untuk semua orang yang tentunya orang yang sama dengn kebudayaannya, atau dengan istilah lain seuasai dengan kondisi saat ini, tidak memihgak suatu kelompok dan bukan untuk memenangkan suatu kesempatan politik melainkan solusi atau jalan keluar untuk menyikapi permasalahan yang ada, agar setiap tindakan manusia dapat dijiwai dengan ajaran agama.


C.      Pengertian Istiqra’
Sebelum melankah lebih jauh perlu untuk diketahui lebih dahulu definisi istiqra’ itu sendiri  apa dan begian kajiannya atau batasan-batasannya. sebab dalam buku Fiqh Sosial; Kiai Sahal Mahfudh, antara konsep dan implementasi diterangkan tidak ada dasarnya dalil dari Al qur’an maupun Al hadis, akan tetapi Istiqra’ ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’I dan Al Ghozali dalam memutuskan suatu hukum. Mengacu dari pernyataan dan mengikuti tindakan ulama’ yang menjadi panutan maka tidak ada salahnya jika Istiqra’ itu ditiru untuk memutuskan perkara yang terjadi pada saat ini. Untuk itu perlu ditampilan pengetian istiqra’ menurut ulama-ulama yang terkenal seperti dibawah ini;
Istiqra’ ini masuk dalam bab istidlal, menetapkan hukum yang tidak ada dasarnya dalam nas( Al qur’an , Al hadist, Ijma’, Qiyas) sehingga implementasinya lebih terbuka, dinamis, dan progresif, lihat dalam Tajuddin Abdul Wahhab Ibnu Subki, jam’ur jawami.
A Chosin Nasuha mengidentifikasikan istiqra’ sama dengan mengambil kesimpulan umum dari soal-soal yang khusus.
Sementara definisi Istiqra’ dalam bukunya Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh dijebarkan bahwa Istiqra adalah memberikan justikfikasi (dasar kebenaran) hukum secara universal pada sebuah masalah, setelah melakukan penelitian mendalam, akurat pada mayoritas masalah tersebut secara partikularistik(fakta-fakta, keterangan-keterangan[4]).
Dari definisian diatas dapat disamakan istiqra’ itu sama dengan riset[5] hanya pada dahulu belum popular istilah itu, sehingga masih terkesan asing bagi para ulama. Dalam penegrtian ini dapat disebut juga bahwa istiqra’ itu termasu suatu metode untuk mendapatkan atau mendefinisikan hukum yang akan diputuskan, maka akan lebih selaras istiqra’ itu dengan metode istiqra’. Metode istiqra’ ini kedepannya akan menjadikan ilmu itu bersifat rasional, empiris, dinamis, ilmiah, kopentitif, analisis, progresif, dan kontekstual[6].
Untuk memetakan sekaligus memberikan gambaran mengenai istiqra’ disini terbagi menjadi dua bagian yaitu istiqra’ klasik dan istiqra kontemporer. Tujuannya adalah memberikan kekomplitan terhadap istiqra’ kontemporer dengan melihat istiqra’ klasik yang disempurnakan, agar hasinya dapat lebih diterima dalam masyarakat dan khususnya dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebagaimana ulama’ klasik tokok yang berpengaruh terhadap istiqra’ adalah Imam Syafi’I dan Al Ghozali.
Sebagaimana dijelaskan bahwa Imam Syafi’I menggunakan istiqra’ untuk melahirkan hukum fiqh tentang mesturbasi (haid), dalam hal ini Imam Syafi’I menggunakan dua ilmu pengetahuan pertama ilmu keagamaan dan yang kedua ilmu kedokteran. Imam Syafi’I menyimpulkan dari metode istiqra’nya bahwa jumlah minimal haid seorang wanita itu adalah sehari semalam atau 24 jam, sedang untuk jumlah maksimalnya adalah 15 hari, sedangkan kebiasaannya wanita haid itu berkisar antara 6-7 hari[7]. Begitupun Al Gholazi tentang penentuan solat witir, Ghozali berpendapat bahwa solat witir itu hukumnya adalah sunnat,karena boleh dilakukan dengan berkendara, sebagaimana dikutib “solat fardlu itu tidak boleh dilakukan dengan berkendara, mengapa demikian karena, hal itu diketahui  berdasarkan istiqra’, yaitu bahwasanya solat apabila doqodho maka solat itu dilakukan bukan pada waktunya, dengan asumsi itu maka beliau menarik hukumnya menjadi bukan fardlu bahwa witir itu.
Ketika berbicara tokoh yang bernotabelkan kontemporer sangat banyak sekali akhir-akhir ini seperti, Yusuf qordhowi, Kiai Sahal Mahfudh, Ali yafi, Mahfudh MD, dan lembaga keagamaan Indonesia seperti MUI. Fatwa-fatwa yang dibangun telah disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat, dan tidak lagi berpatokan dengan teks, seperti yang di putuskan Mahfudh bahwa seorang anak sah dan mendapat hak waris jika dalam tes DNA itu sama dengan orang tuanya.
Dibawah ini diberikan perbandingan penggunaan metode istiqra’ klasik dan metode istiqra’ kontemporer: metode istiqra’ klasik diwakili dengan istiqra’ yang digunakan oleh Imam Syafi’I dalam menentukan hukum haid, sbagai berikut;
1.      Bertanya secara langsung dari satu wanita kewanita lain. Strategi pertama ini membutuhkan kejelian, kelincahan. Dan kemampuan pendekatan psikologi yang professional, sehingga perempuan dengan suka rela menceritakan pengalamannya kepada orang lain apalagi dengan lawan jenis.
2.      Menganalisis data yang masuk secara sermat dan teliti, membuat kesimpulan pertama, lalu melakukan uji coba, selama berulang-ulang dan bertahun-tahun, setelah itu membuat kesimpulan barui, lalu eksperimtasi.
3.      Pada level ini, aktivitas penelitian sudah sampai pada tahap konklusi sementara, melakukan generalisasi dan uji public.
4.      Mengireksi  kekurangan, kesalahan, kelemahan, dan ketidak sempurnaan hasil berdasarkan respon public yang beragam.
5.      Setelah mengoreksi dan eksperimentasi secara berulang-ulang dan respon public positif dan mendukung, maka dibuatlah kesimpulan final.
Sedangkan yang digunakan ulama kontemporer juga tidak jauh berbeda dengan yang yang dilakukan istiqra’ yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adapun sebagai berikut;
1.      Memakai cara responden dengan sampling sambil membawa quosier (daftar pertanyaan) yang harus diisi dengan cermat, teliti, akurat dan akuntabel.
2.      Memilih kelompok dan elemen sosial yang teruji, reprensif letar belakangnya, dan tanggap terhadap persoalan yang diangkat.
3.      Membuat kesimpulan sementara dan melakukan uji publik.
4.      Melakukan koreksi secara terus menerus sesuai hasil uji publik.
5.      Finalisasi konklusi.
6.      Sosialisasi publik.

D.     Relasi Revitalisasi Metode Istiqra’ terhadap Masyarakat
Agama akan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia jika seluruh perangkat doktrin dan ajara-ajaranya disosialisasikan, dimasyarakat dan difungsikan. Selama ajaran-ajaran agama hanya berada dalam lipatan lembar kitab-kitab suci, selama ajaran agama hanya terdapat pada dinding-dinding rumah peribadatan, selama ajaran agama hanya terdapat dalam lingkungan bangku sekolah atau perkuliahan, selama itu pula ajaran-ajaran agama marupakan ajaran yang kosong, abstrak hampa, terisolasi dari kehidupan masyarakat luas[8].
Ajaran agama harus dilestarikan dalam setiap kehidupan setiap manusia, ajaran agama harus memberikan jawaban atas permasalahan, dan solusi untuk mempermudah dalam menjalani kehidupan ini. jangan menjadikan agama itu sulit untuk dilakukan, sehingga ketika ada orang yang ungin masuk kedalamnya merasa takut terbebani, dan kehilangan inovasi. Agama adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan melalui petunjuk kitab suci yang diyakini sebagai kebenaran yang berasal dari Tuhan yang Esa.
Lebih lebih dalam era pembangunan dan teknologi kemodernisasian seperti saat ini, aharus ditopang untuk mendukung dan mensukseskan berjaanya cita-cita pembangunan sebagai jalan untuk menciptakan masyarakat dengan alat-alat kemudahan dan lebih efisien. Ajaran agama menjadi landasan terpenting untuk melaju percepatan pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuaan. Jangan sampai agama itu sebagi candu seperti ungkapan karl marx, agama itu harus berperan seperti yang diungkapkan max weber, sebagai ajaran yang mengingspirasi kemahuan ilmu pengetahuan.
Untuk menyikapi relasi revitalisasi metode istiqra’ terhadap masyarakat perlu untuk ditampilkan dasar-dasar kemaslahatan, sebab dari dasar-dasar itu akan menimbulkan betapa pentingnya metode istiqra’ itu. Sebagai metode yang mengedepankan keadilan, dan semangat zaman yang tertanam didalam jiwa seseorang akan memantabkan kepada kesempurnaan.
1.      Kemaslahatan yang diwajibkan
Dalam memberikan fatwa jika hal itu sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia maka fatwa itu hukumnya wajib untuk dikeluarkan, karena seriep orang yang hidup itu menginginkan ketentraman dan kesesuaian fatwa dengan kondisi yang ada.
2.      Kemasalahatan yang disunnahkan
Apabila  didalam suatu masyarakat sudah terdapat fatwa yang memberikan kemaslahatan maka dalam masyarakat jika mau menghendaki munculnya fatwa baru hal semacam itu diperbolehkan.
3.      Kemaslahatan yang dimubahkan
Jka didalam msyarakat itu terdapat sudah menjalankan fatwa yang sesuai dengan konteksnya, maka apabila fatwa itu diganti fatwa yang baru yang sesuai konteks akan tetapi lebih mmihak pada kelompok, maka demikian itu makruh untuk diiluti.

E.      Kesimpulan
Menyikapai apa yang terjadi pada saat ini adalah suatu perubahan besar-besaran untuk mengejar ketertingglan ilmu pengetahuan yang lima abad sekarang ini dikuasai oleh negara bagian barat. Pemerintah yang masuk dalam katagori negara perkembang harus bekerja lebih keras lagi untuk mengimbangi ketertinggalan itu, seperti juga yang terjadi didalam pemerintahan Indonesia. Pemerintah menyiapkan dan memberikan dan berbentuk beasiswa bagi yang berprestasi maupun yang kurang mampu, dan beberapa tahun trakhir ini sekolah itu gratis tiada lain maksud pemerintah adalah untuk memajukan bangsa Indonesia ini.
Dampak dari pembahuran system pendidikan yang dilakukan seiap lima tahun sekali juga memberikan kritik terhadap model pemahaman terhadap ajaran agama. Dogma-dogma agama dipahami cenderung menggunakan teks sehingga tidak ada kekreatifitasan, yang terjadi malah terhentinya kelahiran ilmu pengetahuan. Itu menjadi problem yang sangat besar dikalangan manusia pada umumnya dan kalangan umat muslim pada khususnya. Tidak disangka berbeda dalam menyikapi dogma keagamaan antara penggunaan teks secara langsung dengan mengambil maknenya melahirkan produk yang sangan berbeda coarak dan bentuknya.
Disinilah arti pentingnya revitalisasi metodologi istiqra’ bertujuan untuk menggali dan mentimpulkan sekaligus memutuskan hukum berdasarkan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat ini. metode ini lebih cenderung menggali makna-makna atau kronologis suatu kitab itu dikarang, dan bagaimana caranya atau metode suatu kitab itu ditulis. Tujuannya adalah tidak merujuk teks lagi dalam memutuskan suatu perkara, tetapi dengan melihat cara untuk memutuskan suatu hukum.



D. Daftar Pustaka

Tolhah Hasan M, Islam dalm Perspektif Sosiokultural, Lantabora Pres, Jakarta, 2000.

Ismail Faisal, Islam; melacak teks menguak konteks,titian wacana, Yogyakarta, 2010

Ma’ruf jamal A, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh; antara konsep dan implementasi, kalista, Surabaya, 2007.

Johan Efendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: wacana keagamaan dikalangan generalisasi muda NU masa kepemimpinan Gus Dur, Kompas, Jakarta, 2010.
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Lkis Group, Yogyakarta, 2011.




[1]  Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Dakwah Jurusan Pengembang Masyarakat Islam semester empat, 10230029
[2]  K.H. Sahal Mahfuhd, Nuansa Fiqh Sosial dalam bukunya Johan Efendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: wacana keagamaan dikalangan generalisasi muda NU masa kepemimpinan Gus Dur, Kompas, Jakarta, 2010, halaman 164.
[3]  Ibit halaman 174.
[4]  Ma’ruf jamal A, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh; antara konsep dan implementasi, kalista, Surabaya, 2007 halaman 333.
[5]  Riset adalah penelitian untuk mendapatkan pengetahuan yang tersusun  secara sistematis dan menggunakan metode-metode yang telah direncanakan sebelumnya
[6]  Rasional adalah ilmu itu dapat diterima oleh akal budi manusia,atau tidak bertentangan dengan nalar manusia.
     empiris adalah mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmu pengetahuan, sehingga dapat diterima semua kalangan masyarakat diberbagai belahan dunia.
    Dinamis adalah dapat berubah ubah sesuai dengan kondisi masyarakat setempat dan umumnya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosio-kulturan, sosial-budaya, dan geografis setempat.
     Kompetitif adalah terjadi persaingan atau terjadi perlombaan penemuan-penemuan.
Analisis adalah bahwa ilmu itu itarik dari data-data yang telah didapatkan dalam obyek yang telah ditentukan.
     Kontekstual adalah paham itu sesuai dengan apa yang terjadi saat itu juga, kehadian sekarang berbeda dengan kejadian lima abat yang lalu.

[7]  Ibid halaman 335.
[8]  Ismail Faisal, Islam; melacak teks menguak konteks,titian wacana, Yogyakarta, 2010, halaman 237.

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Search Site

 
  • Blogroll

  • Consectetuer

  • Popular

  • Comments